Pembelajaran Matematika Realistik Indonesia (PMRI)
Dosen Pengampu Mata Kuliah : Lestariningsih, S.Pd, M.Pd
Oleh
NOVITASARI (1431060)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN MATEMATIKA
SEKOLAH
TINGGI KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN (STKIP) PGRI
SIDOARJO
2016
A. Sejarah dan landasan filosofis Matematika Realistik
Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) mulai berkembang karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan matematika di Belanda yang dirasakan kurang bermakna bagi pebelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld dan Goffre (1968)
melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai
sekarang sebagian besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977)
tentang matematika. Menurut pandangannya matematika harus dikaitkan
dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan relevan terhadap
masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai kemanusiaan. Selain
memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer, Freudenthal
menekankan ide matematika sebagai suatu kegiatan kemanusiaan. Pelajaran
matematika harus memberikan kesempatan kepada pebelajar untuk
“dibimbing” dan “menemukan kembali” matematika dengan melakukannya.
Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran utama matematika
sebagai kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran
matematika harus pada kegiatan bermatematika atau “matematisasi”
(Freudental,1968).
Kemudian
Treffers (1978, 1987) secara eksplisit merumuskan ide tersebut dalam 2
tipe matematisasi dalam konteks pendidikan, yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Pada
matematisasi horizontal siswa diberi perkakas matematika yang dapat
menolongnya menyusun dan memecahkan masalah dalam kehidupan
sehari-hari.Matematisasi vertikal di pihak lain merupakan proses
reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya menemukan hubungan
langsung dari keterkaitan antar konsep-konsep dan strategi-strategi dan
kemudian menerapkan temuan tersebut. Jadi matematisasi horisontal
bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol, sedangkan matematisasi
vertikal bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk matematisasi ini
sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama nilainya (Freudenthal,
1991). Hal ini disebabkan oleh pemaknaan “realistik” yang berasal dari
bahasa Belanda “realiseren” yang artinya bukan berhubungan
dengan kenyataan, tetapi “membayangkan”. Kegiatan “membayangkan” ini
ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari dunia nyata,
tetapi tidak selamanya harus melalui cara itu.
B. Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik.
Pendidikan Matematika Realistik mencerminkan
pandangan matematika tertentu mengenai bagaimana anak belajar
matematika dan bagaimana matematika harus diajarkan.Pandangan ini
tercermin pada 6 prinsip, yang diturunkan dari 5 kaidah yang dikemukakan
Treffers (1987) yaitu eksplorasi fenomenologis menggunakan konteks,
menjembatani dengan menggunakan instrumen vertikal, konstruksi dan
produksi oleh pebelajar sendiri, pembelajaran interaktif, dan
jalur-jalur belajar yang saling menjalin. Berdasarkan kaidah-kaidah
tersebut, maka keenam prinsip yang merupakan karakteristik pendidikan
matematika realistik akan dipaparkan sebagai berikut :
1. Prinsip kegiatan
Pebelajar
harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam proses pengembangan
seluruh perangkat perkakas dan wawasan matematis sendiri. Dalam hal ini
pebelajar dihadapkan situasi masalah yang memungkinkan ia membentuk
bagian-bagian masalah tersebut dan mengembangkan secara bertahap
algoritma, misalnya cara mengalikan dan membagi berdasarkan cara kerja
nonformal.
2. Prinsip nyata
Matematika
realistik harus memungkinkan pebelajar dapat menerapkan pemahaman
matematika dan perkakas matematikanya untuk memecahkan masalah.
Pebelajar harus mempelajari matematika sedemikian hingga bermanfaat dan
dapat diterapkan untuk memecahkan masalah sesungguhnya dalam kehidupan.Hanya dalam konteks pemecahan masalah pebelajar dapat mengembangkan perkakas matematis dan pemahaman matematis.
3. Prinsip bertahap
Belajar matematika artinya pebelajar harus melalui berbagai tahap pemahaman,
yaitu dari kemampuan menemukan pemecahan informal yang berhubungan
dengan konteks, menuju penciptaan berbagai tahap hubungan langsung dan
pembuatan bagan; yang selanjutnya pada perolehan wawasan tentang
prinsip-prinsip yang mendasari dan kearifan untuk memperluas hubungan
tersebut. Kondisi untuk sampai tahap berikutnya tercermin pada kemampuan
yang ditunjukkan pada kegiatan yang dilakukan. Refleksi ini dapat
ditunjukkan melalui interaksi. Kekuatan prinsip tahap ini yaitu dapat
membimbing pertumbuhan pemahaman matematika pebelajar dan mengarahkan
hubungan longitudinal dalam kurikulum matematika.
4. Prinsip saling menjalin
Prinsip
saling menjalin ini ditemukan pada setiap jalur matematika, misalnya
antar topik-topik seperti kesadaran akan bilangan, mental aritmatika,
perkiraan (estimasi), dan algoritma.
5. Prinsip interaksi
Dalam
matematika realistik belajar matematik dipandang sebagai kegiatan
sosial. Pendidikan harus dapat memberikan kesempatan bagi para pebelajar
untuk saling berbagi strategi dan penemuan mereka. Dengan mendengarkan
apa yang ditemukan orang lain dan mendiskusikan temuan ini, pebelajar
mendapatkan ide untuk memperbaiki strateginya. Lagi pula interaksi dapat
menghasilkan refleksi yang memungkinkan pebelajar meraih tahap
pemahaman yang lebih tinggi.
6.Prinsip bimbingan
Pengajar
maupun program pendidikan mempunyai peranan terpenting dalam mengarahkan
pebelajar untuk memperoleh pengetahuan. Mereka mengendalikan proses
pembelajaran yang lentur untuk menunjukkan apa yang harus dipelajari
untuk menghindarkan pemahaman semu melalui proses hafalan. Pebelajar
memerlukan kesempatan untuk membentuk wawasan dan perkakas matematisnya
sendiri, karena itu pengajar harus memberikan lingkungan pembelajaran
yang mendukung berlangsungnya proses tersebut. Artinya mereka harus
dapat meramalkan bila dan bagaimana mereka dapat mengantisipasi
pemahaman dan keterampilan pebelajar untuk mengarahkannya mencapai
tujuan pembelajaran. Dalam hal ini perbedaan kemampuan pebelajar harus
diperhatikan, sehingga setiap pebelajar mendapatkan kesempatan untuk
mengembangkan pengetahuannya dengan cara yang paling cocok untuk mereka
masingmasing.
C. Kompetensi yang dikembangkan
Kompetensi
yang dimiliki pebelajar melalui matematika realistik, selain dari
kompetensi disiplin ilmu, juga kompetensi memproduksi, merefleksikan dan
berinteraksi. Hal ini sesuai dengan tiga pilar pendidikan matematika yaitu refleksi, konstruksi dan narasi. Melalui
bidang ilmunya kompetensi yang dibangun pebelajar matematika realistik
adalah berpikir formal, sedangkan melalui proses belajarnya kompetensi
yang dicapai adalah memproduksi, merefleksi dan berinteraksi. Melalui
pemecahan masalah dalam konteks kehidupan sehari-hari pebelajar diberi
kesempatan untuk memproduksi sendiri pemahaman dan perkakas
matematisnya. Selanjutnya melalui presentasi temuannya di antara
pebelajar dalam dan antar kelompok, semua pebelajar dapat berbagi
pengalaman. Setiap orang yang berdiskusi dalam kelompok tersebut dapat
merefleksikan temuannya sendiri. Sekaligus dalam diskusi juga
dikembangkan kemampuan berinteraksi di antara sesama pebelajar, sehingga
kemampuan-kemampuan sosial dapat dikembangkan.
D. Strategi Pembelajaran
1. Strategi umum
Sesuai
dengan sifat matematika realistik yang berbasis masalah nyata, maka
strategi umum pembelajaran meliputi pemberian masalah untuk dipecahkan
pebelajar, pemberian kesempatan kepada pebelajar untuk mengkonstruksi
sendiri pemecahan masalah, dan presentasi hasil pemecahan masalah yang
disusul dengan diskusi.
2. Penerapan untuk Lingkup Sekolah
Model
pembelajaran ini dapat diterapkan untuk semua jenjang persekolahan,
mulai dari sekolah dasar, sekolah menengah, maupun perguruan tinggi
khususnya pada pembelajaran calon guru, dengan penyesuaian dalam tingkat
keabstrakan materi. Pada jenjang-jenjang sekolah yang lebih rendah
penekanannya pada matematisasi horisontal yang bertolak dari fakta dalam
kehidupan nyata, sedangkan makin tinggi jenjang sekolahnya maka
sifatnya akan lebih menitikberatkan pada matematisasi vertikal yang
bergerak pada ranah simbol.E. Kelebihan dan Kelemahan PMRI
Kelebihan :
- PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari hari (kehidupan dunia nyata) dan kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
- PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikonstruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang tersebut.
- PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian suatu soal atau masalah tidak harus tunggal dan tidak harus sama antara orang yang satu dengan yang lain. Setiap orang bisa menemukan atau menggunakan cara sendiri, asalkan orang itu bersungguh sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut. Selanjutnya dengan membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan cara penyelesaian yang lain, akan bisa diperoleh cara penyelesaian yang paling tepat, sesuai dengan proses penyelesaian soal atau masalah tersebut.
- PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama dan untuk mempelajari matematika orang harus menjalani proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep konsep matematika, dengan bantuan pihak lain yang sudah lebih tahu (misalnya guru). Tanpa kemauan untuk menjalani sendiri proses tersebut, pembelajaran yang bermakna tidak akan terjadi.
Kekurangan :
- Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah untuk dipraktekkan, misalnya mengenai siswa, guru dan peranan soal kontekstual. Di dalam PMR siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak yang mempelajari segala sesuatu yang sudah “jadi”, tetapi sebagai pihak yang aktif mengkonstruksi konsep konsep matematika. Guru dipandang lebih sebagai pendamping bagi siswa.
- Pencarian soal soal kontekstual yang memenuhi syarat syarat yang dituntut PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih lagi karena soal soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam macam cara.
- Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal, juga bukanlah hal yang mudah bagi seorang guru.
- Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa melalui soal soal kontekstual, proses pematematikaan horisontal dan proses pematematikaan vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme, berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali terhadap konsep konsep matematika tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar